Sulsel, wartajavaindo.com
Pamatata merupakan pintu gerbang keluar masuk utama di sisi sebelah utara Ibukota Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan yang dirintis dan dibangun kali pertama oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI) sebagai salah satu jalur aksesibilitas perhubungan laut untuk menghubungkan Kabupaten Bulukumba dengan Kabupaten Selayar.
Daya ukung sumber daya alam (SDA) pantai berpasir putih dan panorama tebing yang ditumbuhi oleh keanekaragaman tumbuhan hijau nan asri menempatkan Pamatata sebagai salah satu titik lokasi strategis pengembangan sektor pariwisata.
Kemilau pesona biru air laut, bak cahaya permata menyempurnakan khasanah kekayaan potensi wisata bahari Desa Pamatata.
Sementara deretan perahu tradisional nelayan yang berjejer rapi di hampir sepanjang bibir pantai, seolah menyiratkan simbol dan menjadi saksi bisu penyematan predikat kabupaten maritim pada penamaan Kabupaten Kepulauan Selayar.
Kekayaan sumberdaya alam (SDA) pesisir, tergambar sangat jelas dari keragaman bentuk dan ukuran perahu nelayan tradisional yang berderet di sepanjang pesisir pantai Pamatata.
Salah satunya, bahkan sengaja dirancang dan didesign menyerupai bangunan rumah perahu.
Perahu yang dulu banyak digunakan dan dimanfaatkan sebagai rumah tempat tinggal oleh komunitas warga nelayan dari suku terasing atau etnis manusia laut.
Mereka adalah komunitas suku Banjo atau yang dalam dialek Bahasa Selayar kerap diistilahkan dengan sebutan, to ri je’ne.
Komunitas warga nelayan yang sepenuhnya menggantungkan rezeki dan roda kehidupan keluarga dari hasil melaut.
Sebuah penguatan nilai dan eksistensi, terhadap letak geographys Kabupaten Selayar yang diapit dan dikelilingi oleh kurang lebih seratus dua puluh tiga buah gugusan pulau kosong, dan berpenghuni.
Letak strategis ibukota Desa Pamatata yang berada tepat di jalan poros pelabuhan ferry, turut ditunjang oleh keberadaan lokasi situs peninggalan sejarah menyerupai makam tua, berbentuk badan perahu.
Situs penanda titik lokasi karamnya kapal raksasa tak berawak yang ratusan tahun silam, terdampar di pesisir pantai Pamatata dan oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kapal milik Sawerigading.
Lokasi situs yang belakangan banyak dl diziarahi dan dijadikan sebagai tempat mencari wangsit oleh berbagai komponen masyarakat, baik dari dalam, maupun luar Selayar.
Kehadiran peziarah ditandai oleh ceceran daun pandan dan bekas-bekas sesajen di sekitar lokasi.
Tak jauh dari lokasi dimaksud, ditemui sebuah lubang mirip bibir sumur yang juga diperkirakan sebagai tinggalan situs cagar budaya.
Sebaran situs tinggalan cagar budaya yang terdiri atas lokasi eks benteng pertahanan, gua alam, situs makam tua, dan bekas tapak kaki ulama, semua bisa di jumpai di sekitar area Pelabuhan Pamatata. (Andi Fadly Dg. Biritta)
Editor Raja.