BLORA, WARTAJAVAINDO.COM – Selain ke makam Kartini TP PKK Kabupaten Blora beserta rombongan juga ziarah ke makam pejuang wanita dari Aceh yang diasingkan ke Blora Pocut Meurah Intan di Pemakaman Tegalsari Temurejo Blora, (Selasa, 20/04/2021).
Kegiatan ziarah dan do’a bersama ini dilaksanakan dalam rangka menyambut dan memperingati Hari Kartini ke 142 Tahun 2021, yang akan jatuh pada tanggal 21 April 2021 esok.
Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Blora, Hj. Ainia Shalichah, SH, M.Pd.AUD., M.Pd.BI, didampingi cicit R.ng.donomuhamad yakni Lilik Yuliantoro sekaligus ahli waris makam kluarga Tegalsari.
Menurut Bunda Aini, panggilan akrabnya, selain mendo’akan kegiatan ziarah dilakukan sebagai wujud penghormatan atas perjuangannya sebagai pahlawan emansipasi wanita Indonesia.
“Semoga bisa memotivasi kami para perempuan masa kini untuk meneruskan cita-cita beliau dalam kesetaraan gender,”ucapnya.
“Lilik salah satu ahli waris lahan Tegalsari yang turut dalam pelaksanaan ziarah,” mengucapkan Terimakasih kepada Ibu Ainia beserta rombongan yang menyempatkan waktunya berziarah ke pemakaman Mbah Pocut dan leluhur kami. Semoga sama diberikan kelancaran dalam beribadah, berjuang dan menjalankan kewajiban selaku manusia,” terangnya
Selain itu Lilik,” harapan keluarga lahan Tegalsari seluas kuranglebih 1,6 hektar ini bisa dikelola bersama Pemkab Blora sebagai destinasi wisata sejarah dan spiritual serta kuliner atau UMKM di Kabupaten Blora, Jawa Tengah,” tandasnya
SRIKANDI ACEH DALAM TEDUH TEGAL SARI:
Pocut Meurah Intan. Begitu nama salah satu pahlawan asal Aceh yang makamnya berada di Tegalsari, Blora, Jawa Tengah. Meski belum banyak dikenal oleh masyarakat, namun perjuangannya membuat ciut nyali penjajah Belanda.
Riwayat menyebutkan bahwa dia lahir pada 1833 di Biheue, sebuah wilayah sagi XXII Mukim di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Dilansir dari Wikipedia, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh kesultanan Aceh yang paling antiterhadap Belanda.
Pocut Meurah Intan pun memilih bercerai dengan suaminya, Tuanku Abdul Majid yang menyerah kepada Belanda. Dengan menyerahnya suami, maka Pocut Meurah Intan melanjutkan perjuangan dengan mengajak anak-anaknya ikut berjuang melawan penjajah.
Tiga putra buah pernikahan dengan Tuanku Abdul Majid, yaitu Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Ketiga anaknya dengan gagah berani turut berjuang melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Hingga pada Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh pasukan Belanda di wilayah Tangse, Pidie. Kemudian, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, pada 19 April 1900.
Tertangkapnya putra sulung, tak membuat Pocut Meurah Intan surut. Dia justru makin gencar berjuang. Cintanya dengan tanah kelahiran dan kepercayaaan pada agama ditambah pengaruh dari cerita Hikayat Perang Sabil, membuat Pocut Meurah Intan pantang mundur.
Dalam sebuah pertempuran di Sigli, Pidie pada 11 November 1902, Pocut Meurah Intan tertangkap. Diceritakan, kala itu Pocut Meurah Intan memberikan perlawanan sangat sengit. Dia harus berhadapan dengan 18 orang marsose (marechaussee/serdadu) yang dipimpin oleh Veltman. Marsose merupakan satuan militer khusus yang dibentuk Belanda untuk menghadang gerakan gerilyawan Aceh termasuk menangkap Pocut Meurah Intan.
Meski sendirian, Pocut Meurah Intan tak kenal takut. Dengan senjata rencong di tangan, dia memberikan perlawanan. Meski menderita luka parah dia tak menyerah. Bahkan, dia menusuk seluruh pasukan marsose.
Pocut Meurah Intan menderita luka sangat parah di sekujur tubuh. Satu urat di keningnya putus. Sementara luka-luka yang terbuka dibalur kotoran hewan dan lumpur oleh Belanda. Akibatnya luka semakin parah.
Veltman yang ingin menolong ditolaknya. Dengan penyembuhan luka yang dilakukan sendiri, membuat Pocut Meurah Intan menderita cacat di kakinya. Semangat yang tak kenal padam itu membuat Belanda menjulukinya ‘Heldhafting’ atau ‘yang gagah berani’.
Setelah sembuh, dia bersama seorang putranya, Tuanku Budiman, dijebloskan ke penjara di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perjuangan. Hingga pada 18 Februari 1905, Belanda menemukan tempat persembunyian Tuanku Nurdin di Desa Lhok Kaju.
Tuanku Nurdin ditahan bersama ibu dan kakaknya. Pada 6 Mei 1905, Pocut Meurah Intan bersama kedua putranya dan seorang keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim dibuang ke Blora, Jawa Tengah.
Di tempat pengasingannya itu, Pocut Meurah Intan belum banyak dikenal orang. Apalagi, dia juga terkendala bahasa dengan masyarakat sehingga tak dapat lagi berjuang melawan penjajah. Warga
Dia tinggal dan dirawat oleh salah satu keluarga di Desa Kauman (sekarang sebelah utara Masjid Agung Baitunnur Blora.) Lilik Y / Editor: Raja