SORONG – WARTAJAVAINDO,COM
Kota Sorong dulu bagus skali, anak-anak bermain di gunung dan pantai dengan bebas, waktu itu masih hutan rimba, sepanjang kilometer 7 – 10, rawa-rawa menyimpan air dan banyak satwa hidup disana, tapi sekarang, berbeda jauh sekali, sampah dan banjir dimana-mana, kota ini harus ditata kembali.
Itulah sekelumit ratapan warga kota Sorong yang diwakili Dr.Ferdinand Nyong Risamasu S.E, M.Sc,Agr. , beliau sangat prihatin dengan perkembangan masyarakat kota Sorong. Hal ini juga yang memotivasinya untuk menata kembali kota Sorong tercinta.
Nyong kecil, lahir di kampung Manelek Teminabuan pada tahun 1966, sebuah ibukota kecamatan yang sejuk dan asri, karena dialiri ribuan sungai, dari situ Teminabuan dijuluki kota seribu sungai, dengan tugu pendaratan Herlina dan Air Terjun Kohoin yang fenomenal.
Kampung Manelek ketika 1966, masih sangat gelap dan terbatas, akses ke kota Teminabuan pun harus ditempuh dengan berjalan kaki, semua serba kurang, namun disana Nyong ditakdirkan lahir dan harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dia tidak bisa memilih tempat dimana dia dilahirkan, karena orang tuanya bertugas disana sebagai guru Injil.
Ayah kandung Nyong bernama Guru Jemaat S.Risamasu, seorang guru Injil dari Maluku yang berangkat dari Ambon menggunakan kapal Booth bersama 41 guru jemaat asal Maluku, 17 November 1948 dan tiba di Manoi Sorong, 18 November 1948., ketika itu mereka semua masih remaja.
Setelah tiba di Manoi, Grj. S.Risamasu bersama teman-temannya dijemput oleh Grj.Tutuarima dan pendeta Midaag, mereka ditampung di Doom, dan selanjutnya dibagi ke Inanwatan, Ayamaru, Aitinyo dan Teminabuan, pada 11 Desember 1948.
Di usia remaja, orang tua Nyong harus mengabdi di daerah terpencil, dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Mereka harus memperkenalkan Injil dan Pendidikan kepada Orang Asli Papua di Inanwatan, Teminabuan, Aitinyo dan Ayamaru.
Kala itu, satu-satunya jalur transportasi dari Sorong – Teminabuan adalah menggunakan transportasi laut, dan dari Teminabuan ke Ayamaru, Aitinyo dan Aifat , harus dilalui dengan berjalan kaki, berhari-hari lamanya. Tak ada lampu, tak ada signal , akses transportasi dan komunikasi serba terbatas
Darisana Nyong memperoleh pengalaman yang sangat banyak mewarnai kehidupannya, bagaimana dia mendengar cerita dari orang tuanya, dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan Orang Asli Papua sesungguhnya kala itu disana.
Dari Teminabuan, tahun 1968, Nyong mengikuti orang tuanya, pindah mengajar di kota Sorong, kala itu masih menjadi kabupaten Sorong. Di Kota Sorong inilah Nyong Ferdinand Risamasu mulai tumbuh dan berkembang.
Memasuki usia sekolah dasar, calon guru besar ini, memulai pendidikannya di SD YPK VI Klademak III, kemudian dilanjutkan ke SMP YPK Sorong tahun 1980, pindah ke SMP Negeri I Manokwari tahun 1982, setelah tamat, dia kembali belajar di SMAN 413 dan lulus di SMEA Negeri Sorong Irian Jaya, tahun 1986.
Semasa kanak-kanak hingga remaja di kota Sorong, banyak kenangan indah yang dialaminya, Sorong masih hutan rimba, rawa-rawa sepanjang kilo 8 sampai kilo 10, menyimpan air dan sejumlah marga satwa hidup disana, anak-anak bermain bebas di alam pantai dan di gunung.
Nyong juga aktif dalam bermain bola, menjadi pemain belakang Putra Yohan bersama Otis Adidati, Decky Duwit , John Wabiser, Decky Serio ( alm ), Ateng Way, Edu Isir, Oni Pumbowi, Sepi Raunsai, Metu Rumayom ( alm ), Kris Siahaya, Herman Pumbowi, Mely Way, Enos Aupe dan Yulian Komendi ( alm )
Prestasi bersama P.S Putra Yohan, Nyong Risamasu dipercayakan Persiss Sorong masuk dalam squad Remtar mewakili Sorong, berlaga sepakbola ke luar daerah di Indonesia Timur, tak hanya sekali mewakili Sorong, karena masih berusia sangat muda, Nyong ikut dalam perekrutan Remtar periode berikutnya, kata sesama mantan pemain Remtar Persiss Sorong, Matheus Samagita, yang sekarang berprofesi sebagai Coach Galanita di Sorong.
Fokus hanya pada bermain bola, namun Nyong bangga dengan teman-teman lainnya yang sebaya, mereka berperstasi dalam bidangnya masing-masing di tingkat nasional, baik karate maupun bermain bola di Persipura dan Perseman, kini masih tertinggal Boas Sollosa yang menjadi legenda sepakbola Indonesia.
Pengalaman hidupnya di kota Sorong sangat menginspirasinya untuk menimba ilmu di rantau, agar kelak kembali membangun kotanya. Universitas Cendrawasih Jayapura menjadi pilihannya. Disana Nyong masuk S1 FISIP Uncen Tahun 1986 dan tamat tahun 1991.
Menyelesaikan S1, Nyong dipercayakan menjadi tenaga pengajar disana, dia kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Georg – August Gottingen University Germany, tahun 1999. Delapan tahun kemudian, Nyong menyelesaikan S3 di Universitas Hassanudin Makassar tahun 2007.
Berbekal ilmu yang diperolehnya, tak hanya menjadi tenaga dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uncen Jayapura, anak guru jemaat ini juga dipercayakan menjadi Ketua Program Studi S2 Magister Managemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas yang sama, dari tahun 2016 – sekarang.
Menjadi tenaga dosen, anak Yohan Klademak ini juga dipercayakan di luar kampus, menjadi Staf Khusus Staf Khusus Sekda Papua tahun 2021, dan staf khusus Gubernur Papua dari tahun 2022 hingga sekarang,. Staf Ahli Komisi II DPRP Tahun 2009 – 2019, Staf ahli Ketua DPRP Tahun 2020-2021.
Selanjutnya, Nyong menjadi Staf Khusus Bupati Mamberamo Raya tahun 2012 – 2014. Sejak 2023 – sekarang, Nyong kembali dipercayakan pemerintah menjadi Komisaris P.D.Irian Bhakti Papua.
Secara pribadi Dr. Ferdinand Nyong Risamasu terbilang cukup mapan, prestasi akademik sebagai Doktor telah diraihnya dan sebentar lagi dia menyandang gelar Proffesor, guru besar di Universitas Cendrawasih. Anak perempuan tertuanya telah selesai meniti pendidikan sebagai calon Capten Pilot Wanita, mereka tergolong keluarga bahagia.
Namun semua gelar, jabatan, finansial dan keluarga tak membuat Nyong tak berhenti berkarya, Sorong yang membesarkannya mengalami banyak masalah, pertumbuhan kota tidak memberikan ruang kepada remaja untuk mengukir prestasi, tidak ada ruang terbuka untuk mereka bermain dan bercanda.
Kota Sorong menjadi kumuh dan banjir, rawa-rawa tempat menampung air dan hidup berbagai jenis marga satwa telah musnah tertutup bangunan, dan menjadi langganan banjir setiap musim penghujan. Apalagi kota Sorong sekarang sebagai ibu kota propinsi Papua Barat Daya, perlu penanganan khusus.
Berbekal ilmu dan pengalaman, serta memiliki empati sebagai anak penginjil, Nyong Risamasu mewarisi pengabdian ayahnya yang gigih mengabdi untuk membangun masyarakat dan Tanah Papua.
“Ketika dulu ayahnya menginjil dan mendidik Orang Asli Papua keluar dari jaman kegelapan menuju terang, kini Dr. Ferdinand Nyong Risamasu S.E, M.Sc,Agr, mempertaruhkan seluruh karier, daya dan dana, untuk membangun kembali kota yang telah membesarkannya“.
(Joris)
Grj.Semuel Risamasu dan Nyora bersama anak-anak di Aitinyo, tahun 1957