Memahami Makna Nuzulul Qur’an Dalam Tafsir Tekstualitas & Kontekstualitas (Studi Atas Tafsir Midadurrahman)

Oleh:
Al-Habib Prof.Dr.KH.R. Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan. SAg.MA.PhD
(Penulis Tafsir Midadurrahman 115 Volume)
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan hidup yang terang benderang, lurus, jelas, lugas dan dinamis.
Al-Qur’an juga menginfokan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, kejadian-kejadian yang terjadi saat ini, serta mengupdate berita-berita yang akan terjadi nanti.
Sebagian besar isi kandungan Al-Qur’an berisi teks-teks ajaran yang bersifat global universal, namun juga terkait dengan kontekstualitas peristiwa yang sedang dihadapi saat ini.
Teks dan Kontekstualitas Al-Qur’an selaras dengan dalil aksiomatis bahwa tidak ada teks apapun bentuknya, yang hadir dalam ruang hampa, ia selalu terkait dengan ruang kontekstual realitas sosial, karena itu teks selalu kompleks, hidup, dinamis dan up-to-date.
Aktivitas menafsirkan Al-Qur’an merupakan sistem kegiatan ijtihadi untuk membaca kembali, meriset dan mengevaluasi validitas sebuah teks apakah sesuai dengan kontekstualitas kehidupan manusia, khususnya umat Islam.
Nuzulul Qur’an adalah bentuk proses Kontekstualitas Al-Qur’an yang tadinya bersifat tekstual, menjadi bersifat Kontekstual dan selaras dengan dinamika zaman.
Dalam filsafat bahasa dinyatakan bahwa, tidak ada teks yang bebas dari konteks sejarah. Oleh karena itu, sebagai teks, Al-Qur’an tanpa kecuali, menjadi subjek yang tepat bagi sistem interpretasi, bahkan sepanjang sejarahnya, Al-Qur’an telah menjadi subjek sejumlah aliran penafsiran, sehingga dikenal ribuan tafsir terhadap Al-Qur’an ini dari bermacam-macam perspektif dan sudut pandang ilmu.
Pedoman dasar dan standar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul Al-Qur’an (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) adalah melalui metode Sanadi, yaitu : “Metode menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah, terus ke para sahabat, terus ke Tabi’in, terus ke Tabiut Tabi’in, terus ke Ulama Salafus Shalih, terus ke ulama era saat ini”.
Al-Wahidi mengatakan:
”Tidak logis berpendapat mengenai asbabun-nuzul Al-Qur’an kecuali didasarkan pada riwayat para sahabat Nabi yang menyaksikan sebab turunnya Al-Qur’an saat itu”.
Metode Sanadi inilah yang ditempuh oleh ulama Salafus Shalih yang menekuni bidang ilmu tafsir Al-Qur’an.
As-Suyuti berpendapat bahwa:
“Bila ucapan-ucapan seorang Tabi’in (murid sahabat Nabi) secara jelas menunjukkan asbabun-nuzul, maka ucapan itu diterima”.
Metode ini dinamakan metode Sanad Tafsir. Yaitu Dari Allah mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasulullah, dari Rasulullah mengajarkan kepada para Sahabat Nabi, lalu dari Sahabat Nabi mengajarkan kepada generasi Tabiin, lalu dari Tabiin mengajarkan kepada generasi Tabiut Tabiin, dari Tabiut Tabiin mengajarkan kepada generasi Salafus Shalih, dan dari Salafus Shalih mengajarkan kepada ulama tafsir sekarang ini.
Pada akhir abad 9-10 M, Dunia Islam dan kaum muslimin dihadapkan pada dinamika pemikiran Islam yang terbuka. Pada abad ini berkembang cara pandang rasionalisme, liberalisme, pluralisme, saintisme, spiritualisme, dan heterogenitas kebudayaan serta peradaban.
Maka otomatis secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi intraksi kultural dengan ragam muatannya dengan tekstualitas Al-Qur’an.
Intraksi kontekstualitas kultural dan peradaban ini menghasilkan banyak sistem interpretasi terhadap teks Al-Quran, agar spirit teks Al-Qur’an tetap hidup dan up-to-date.
Contoh Interaksi penafsiran antara teks dan konteks ini, dicontohkan oleh Tafsir Midadurrahman 115 Volume karya Al-Habib Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan, yang dalam menafsirkannya sangat memperhatikan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Tafsir Midadurrahman sangat memperhatikan Sanad Tafsir, yaitu Dari Allah kepada Rasulullah, kepada Ahlulbayt Nabi dan para Sahabat Nabi, kepada Tabi’in, kepada Tabiut Tabi’in, kepada Salafus Shalih, kepada Walisongo, dan kepada Penulis.
2. Tafsir Midadurrahman juga sangat memperhatikan Riwayat-riwayat Hadits, Sunnah dan Atsar Rasulullah yang diriwayatkan oleh Keluarga Nabi dan para sahabat Nabi.
3. Tafsir Midadurrahman juga sangat memperhatikan Sastra Al-Qur’an yaitu Sastra Bahasa Arab sebagai kacamata interpretasi terhadap ayat-ayat, dengan mengawinkan antara Ayat-ayat Al-Qur’an dengan syair-syair Arab Kuno, juga mengupas dari makna Kosakata, Ilmu Gramatika (Nahwu), Sharaf, Balaghah, Arud, Idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi dan lain-lain.
4. Di samping pendekatan Ilmu Linguistik, Al-Habib Faroji Al-Azhmatkhan juga mendasarkan tafsirnya, yaitu Tafsir Midadurrahman, pada riwayat-riwayat Walisongo sebagai simbol sanad Islam Nusantara. Tradisi historitas yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah Al-Qur’an, juga dianggap sangat penting. Juga historiografi penafsiran era Walisongo sebagai simbol Islam Nusantara adalah sangat penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberikan tempat.
5. Tafsir Midadurrahman juga didasarkan pada pendekatan Logika (ra’yu), Sains dan teknologi, karena tafsir ini lahir di Era Digital.
6. Tafsir Midadurrahman juga merupakan satu contoh penafsiran yang tidak hanya menekankan bahasa tapi juga menekankan realitas universal holistik utuh dan integral sebagai Munasabah atas Asbabun Nuzul ayat. Artinya Tafsir Midadurrahman sangat memperhatikan aspek tekstualitas dan Kontekstualitas, aspek Aam dan Khas, aspek mikro dan makro, Aspek material dan spiritual, aspek syariat dan tarekat hakikat makrifatnya.
Para ulama tafsir membuat kriteria-kriteria untuk menyikapi Asbabun Nuzul Al-Qur’an melalui riwayat, antara lain:
Pertama,
apabila ada dua riwayat yang berbeda, dan salah satunya lebih shahih dan lainnya tidak, maka yang dipegang adalah riwayat yang lebih shahih.
Kedua,
apabila sanad dari riwayat tersebut sama keshahihannya maka salah satunya diutamakan apabila perawinya menyaksikan peristiwa atau karena ada peristiwa semacamnya.
Ketiga,
apabila dua riwayat tersebut sulit ditarjihkan, maka pemecahannya adalah diasumsikan ayat yang turun berulang-ulang sebagai sebab yang disebutkan.
Keempat,
Pijakan utama untuk penanggalan atau kronologis bagian-bagian Al-Qur’an adalah riwayat-riwayat sejarah dan tafsir .
Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul mempunyai banyak faedah, antara lain:
Pertama,
mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena perhatiannya kepada umat.
Kedua,
mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum.
Ketiga,
apabila lafal yang diturunkan yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap selain bentuk sebab.
Keempat,
mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al-Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab Nuzulnya. Al-Wahidi menjelaskan:
“Tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya”.
Kelima,
sebab Nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat tersebut diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.
PENUTUP.
Dari beberapa pemaparan dan pembahasan di atas, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan terhadap Asbabun Nuzul ayat dalam kegiatan penafsiran Al-Qur’an sangatlah urgent, karena tanpa berpijak pada sejarah munculnya sebuah teks maka kita tidak memiliki kajian analisis yang bersifat obyektif. Oleh karena itulah pentingnya nilai-nilai historis dapat dijadikan sebagai barometer dan standar untuk melacak sejarah masa lalu dan yang akan datang.
Sangatlah dilematis jika kita hanya melakukan interpretasi dengan mengedepankan tekstualitas tanpa mau melihat konteks saat ini, karena Al-Qur’an bukanlah teks-teks yang bisu akan tetapi teks-teks yang tetap bisa bersifat elastis dinamis up-to-date dalam menguak nilai-nilai fundamental Islam yang berdasarkan Qur’ani.
Esensialnya, pengetahuan terhadap nilai-nilai sejarah masa lalu dapat dijadikan sebagai indikator tersendiri dalam mencari ide moral yang akan dijadikan sebagai tujuan yang substansial dalam kegiatan penafsiran, sehingga dengan begitu, penulis melihat bahwa perlu ada semacam kolaborasi re-interpretasi nash dalam kaitannya dengan konteks sejarah, sehingga hasil penafsiran tersebut tidak mengandung nilai-nilai ahistoris terhadap pola penafsiran Al-Qur’an saat ini. (Red)
Daftar Pustaka:
1. Khalil Manna Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta ; Pustaka Litera, 2001.
2. Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan, Tafsir Midadurrahman 115 Volume, Jakarta; Pustaka Asyraf Internasional, 2020.