Oleh: Andy Maulana.
Penulis adalah Auditor & AMP; Satgas Saber Pungli Provinsi Jawa Tengah.
WARTA JAVAINDO.COM
Masyarakat harus sadar dan berinisiatif mengawasi pembangunan proyek karena Undang-Undang memberikan hak gugatan tersebut. Maka sebagai masyarakat jika mengetahui dan terkait adanya suatu hal seperti diatas hendaknya dapat mencermati dengan seksama perihal adanya Hak Masyarakat dan Pekerjaan Pembangunan yang ada.
Menikmati suasana lingkungan yang layak, teratur, baik, aman dan tenang merupakan hak setiap orang. Dari aspek legalitas-formal hal tersebut merupakan amanat Pasal 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman serta Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada sisi yang lain, setiap orang/badan yang berkepentingan juga diberi wewenang membangun rumah/perumahan di lingkungan tertentu sekalipun bisa berdampak pada masalah kenyamanan/ketenangan lingkungan, sesuai syarat-syarat yang ditentukan, demikian ditegaskan Pasal 6 ayat (1) dan 7 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992.
Maka dalam hal ini seperti munculnya berbagai kepentingan akan memunculkan satu kekhawatiran : friksi atau pertentangan antara hak untuk hidup di lingkungan yang aman, tenteram dan aman di satu pihak, dengan hak untuk mendirikan dan membangun rumah/perumahan di pihak lain, yang menimbulkan ekses kebisingan/kegaduhan. Memang, Pasal 29 dan Pasal 38 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi telah memberi peluang bagi masyarakat yang dirugikan atas kegiatan pekerjaan konstruksi untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Namun regulasi tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah. Kebutuhan dan tuntutan untuk hidup aman dan tentram bagi masyarakat adalah hal yang mendesak karena sehari-hari mereka tinggal di lingkungan dimana lokasi proyek tersebut menimbulkan kebisingan/kegaduhan, padahal untuk mendapatkan hak melalui gugatan memerlukan waktu yang panjang, setidaknya 6 bulan untuk tingkat pengadilan negeri (tingkat pertama). Itu pun masih harus menunggu putusan pengadilan yang lebih tinggi bahkan hingga Mahkamah Agung, apabila putusan tingkat pertama kontraktor baik pekerjaan pengurukan lahan dan bangunan fisik tidak mengajukan upaya hukum apabila dituntut menghentikan atau membatasi pekerjaan pembangunan. Bisa dibayangkan, putusan belum keluar, pekerjaan proyek sudah selesai sehingga masyarakat benar-benar terganggu menjalani kehidupannya sehari-hari apalagi regulasi dan legalitas nya tidak jelas bahkan tidak memperoleh ijin.
Editor:Raja