Konstitusi DPRK Raja Ampat Sudah Kacau Sejak Awal Berdiri Tahun 2005. Peraturan Bupati Jadi Solusi Ampuh

Oleh : Joris Stef Omkarsba
RAJA AMPAT, WARTAJAVAINDO – Jika polemik Eksekutif dan Legislative di Raja Ampat terjadi tarik menarik terkait dengan penetapan APBD 2025 sejak Desember 2024 hingga Maret 2025 apakah menggunakan Perda hasil penetapan DPRK atau Peraturan Bupati Raja Ampat, bukanlah hal baru. Karena hal ini telah dimulai ketika DPRD Raja Ampat pertama tahun 2005.
Bermula dari penetapan hasil pemilihan legislative Raja Ampat periode pertama hasil Pileg tahun 2005. Ketika itu, partai Golkar yang diketuai Nasib Baria memenangkan 8 kursi. Namun nasib naas menimpa Golkar, 4 kursi dikebiri dan dialihkan ke partai lain, diantaranya PDIP, PAN dan PDS.
Wakil Ketua Golkar Raja Ampat, Julius Omkarsba bersama caleg yang lolos merasa solider dengan rekan-rekannya yang digugurkan dan menyatakan menolak dilantik sebagai anggota DPRD. Legislative lumpuh, pemenang Pileg menolak penetapan KPUD Raja Ampat.
Agar eksekutif dan legislative berjalan dan untuk memastikan bahwa kabupaten Raja Ampat bisa berjalan sebagai kabupaten definitif, maka PDIP yang memperoleh 3 kursi menjadi Pimpinan Dewan baik Ketua dan ketua I, setelah dilakukan Rapat Pleno internal DPRD Raja Ampat. Ketua Bram Ambrauw, Ketua I Abbas Umlati.
Pada tahun 2006, atas hasil diskusi Joris Omkarsba dan Drs. Marcus Wanma, setelah lokakarya perikanan dan pendidikan di aula DPRD Raja Ampat, Waisai. Proses negosiasi pun berjalan dan 4 anggota DPRK dari partai Golkar bersedia dilantik pada tahun 2007, kepemimpinan dewan tidak berubah hingga selesai masa jabatan.
Penghilangan 4 kursi Golkar diduga kuat kaitannya dengan pemilihan Bupati Raja Ampat Definitif periode 2005 – 2010. Dengan bersatunya PDIP dan Partai Gurem menjadi pimpinan DPRK, maka konstalasi politik ini berhasil mengantarkan Drs.Marcus Wanma M.Si dan Drs.Inda Arfan ( MARINDA ) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Raja Ampat pertama,
Ketika Golkar bergabung dalam parlemen, hubungan antara Marinda dan Pimpinan Dewan mulai tidak harmonis. Berbagai manuver dimainkan DPRD untuk mengganggu jalannya roda eksekutif. Marinda tidak diam, Perbup menjadi senjata pamungkas untuk membangun Raja Ampat ke pentas dunia. Pileg tahun 2009, Golkar unggul menjadi Ketua dewan dan Eksekutif dipimpin Marinda, Eksekutif dan Legislative berjalan harmonis dan mempercepat pembangunan Raja Ampat.
Pileg tahun 2014, Partai Demokrat yang diketuai Abdul Faris Umlati memenangkan Pileg dengan 9 kursi, Abdul Wahab Warwei menjadi Ketua sekaligus mengantarkan Abdul Faris Umlati menjadi Bupati periode 2015-2020 dan 2020-2025. Eksekutif dan Legislative berjalan normal hingga selesai.
Pileg tahun 2024, partai Demokrat yang diketuai Orideko Iriano Burdam, berhasil mempertahankan posisi partai Demokrat sebagai Ketua DPRK yang memenangkan Pileg dengan jumlah 6 kursi. Namun sayang, Pilkada 2024, Orideko Burdam tidak diakomodir demokrat, partai berlambang mercy ini berlabuh pada Ria Umlati, adik kandung Ketua DPW PBD Papua Barat Daya. Orideko Burdam kemudian digandeng Nasdem dan PKS, komunikasi politik mulai tidak harmonis.
Pada kubu Demokrat, sebelum pendaftaran Paslon Bupati dan Wakil Bupati Raja Ampat periode 2024-2029, Caleg terpilih Dapil II maju sebagai Wakil Bupati Raja Ampat berpasangan dengan Ria Umlati. Benoni secara otomatis berhenti dari DPRK Raja Ampat sebelum dilantik dan posisinya diganti suara kedua terbanyak, Jani Sarasa,adik Faris Umlati. Pergantian Benoni dan Jani menjadi konsumsi publik pada tahapan Pilkada 2024, Jani diprediksi menjadi Ketua DPRK Raja Ampat, dan dilantik sebagai Ketua Sementara pada 28;Oktober 2024, dan Ketua Definitif, 20 Pebruari 2025.
Pilkada 27 November 2024, Orideko Burdam yang tidak diakomodir Demokrat, mendapat simpati rakyat, bersama Nasdem dan PKS, rakyat bersatu memenangkan Orideko Burdam dan Mansur Syahdan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Raja Ampat periode 2025-2030. Kemenangan ORMAS tidak berjalan mulus, proses di MK berjalan sejak Desember 2024 hingga 20 Pebruari 2025. Mata rakyat tertuju ke Jakarta di gedung MK. Semua lupa dengan APBD 2025.
APBD 2025 hasil keputusan DPRK Raja Ampat periode 2024 di Rylic Panorama belum ditetapkan karena belum ada kelengkapan dewan. 15;Desember 2024, dibawa ke kementrian dalam negeri untuk dibahas, namun mengalami jalan buntu, tarik menarik antara Perda dan Perbup mulai bergulir. Setelah penetapan pimpinan DPRK definitif, 10 Pebruari 2025, agenda pleno APBD mulai digulir, namun eksekutif tidak sependapat, Bupati Raja Ampat, melalui TAPD menginginkan menggunakan Perbup.
APBD 2025 merupakan produk DPRK Raja Ampat 2019-2024, diduga isi APBD tersebut tidak mengakomodir kepentingan ORMAS. Oleh sebab itu, eksekutif lebih menghendaki Perbup agar kepentingan program kerja 100 hari dan kebutuhan pemilih dapat terlayani sebelum adanya usulan baru pada APBD 2025 Perubahan. Pemerintahan ORMAS kiji berjalan dengan Perbup walaupun tidak leluasa dan berkonsultasi terus menerus ke Depdagri, demi berjalannya pembangunan untuk rakyat.
Polemik Perda dan Perbup bukan pertama kali karena telah dimulai sejak awal proses berdirinya lembaga legislative dan hubungannya dengan Pilkada merebut kekuasaan antara partai politik, Legislative dan Eksekutif.
Akankah Orideko Burdam dan Mansur Syahdan mengulangi kisah sukses MARINDA menggunakan Peraturan Bupati kembali menerbangkan Raja Ampat menuju pentas dunia ?
Penulis adalah pelaku dan saksi sejarah yang turut serta dalam setiap politik partai,eksekutif dan legislative sejak 2005-2025