Kiai Subkhi, Kiai Bambu Runcing (Santri Al-Kahfi Somalangu)

0 0
Read Time:3 Minute, 6 Second

WARTAJAVAINDO.COM-Penasihat Barisan Bambu Runcing (BBR) yang kemudian bergabung dalam Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Kemudian menjadi pasukan Hizbullah Kompi XVIII Batalion V Resimen III Divisi Sultan Agung. Diberi julukan Kiai Bambu Runcing dan Jenderal Bambu Runcing. Bersama K.H.R. Sumo Gunardo, K.H. Nawawi, K.H.M. Ali, K.H. Abdurrahman, dan tokoh-tokoh lainnya seperti K.H. Mandur, Sahid Baidzowi, Ahmad Suwardi, Istachori Syam’ani al-Khafidz, dan lain-lain. Mengomandoi perlawanan dengan senjata bambu runcing. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Parakan, Temanggung. Senjata bambu runcing dan fotonya juga terpampang pada Vitrin Sudut I di Monumen Yogya Kembali Yogyakarta.

Lahir di Parakan pada tahun 1858 M. Nama kecilnya Mohammad Benjing. Ketika berumah tangga berganti nama R. Somowardjojo, dan setelah naik haji, berganti nama lagi menjadi H. Subkhi. la belajar ilmu agama kepada ayahnya, K.H. Harun Rasyid, ulama terkenal di daerahnya. Subchi kecil dididik oleh orangtuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, asuhan Syekh Abdurrahman Somalangu (ayahanda Kiai Mahfudh Somalangu, Kebumen). Dari ngaji di pesantren inilah, Kiai Subchi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.

Nama Kiai Subkhi masyhur berkaitan dengan senjata bambu runcing yang merupakan senjata dalam melawan NICA, Dalam Perang Ambarawa maupun Pertempuran Surabaya yang dipimpin oleh Bung Tomo tidak lepas dari semangat bambu runcing. Senjata bambu runcing yang digunakan sebelumnya telah diberi doa atau berkah dari Kiai Bambu Runcing. Tidak heran apabila pada perang kemerdekaan, banyak laskar yang sebelum terjun ke medan laga, sebelumnya meminta berkah terlebih dahulu ke Parakan. Setiap hari, tidak kurang 10 ribu orang meminta doanya untuk menyepuh bambu runcing. Bukan hanya masyarakat biasa, tapi tentara Hizbullah, Sabilillah, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga meminta berkahnya. Kepada yang meminta berkah dirinya berpesan, “Luruskan niat untuk mempertahankan agama, bangsa dan tanah air. Ingat selalu kepada Allah. Jangan menyeleweng dari tujuan dan hendaklah selalu ingat kepada Allah.”



Sekali waktu, Gubernur Jawa Tengah meminta berkahnya. Wongsonegoro, Panglima Besar Jendral Soedirman, sebelum pergi ke Ambarawa, melakukan hal serupa. K.H. Wahid Hasyim, K.H. Zainul Arifin, K.H. Masykur, K.H. Saifuddin Zuhri pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, dirinya menangis karena banyak yang meminta doanya, dirinya merasa tak layak dengan maqam itu. Akan tetapi, K.H. Wahid Hasyim mengatakan, apa yang dilakukannya sudah benar.

Dalam otobiografinya, K.H. Saifuddin Zuhri memberi kesaksian: “Berbondong- bondong barisan-barisan Laskar dan TKR menuju ke Parakan. Diantaranya, yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan K.H. Masykur. Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir. Sakirman, dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini, baik TKR maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju ke Parakan.”

Pada tanggal 25 Oktober 1945, cabang NU Temanggung mendapat instruksi dari PBNU di Surabaya untuk jihad fi sabilillah, berjuang mengusir penjajah Belanda. Dirinya sebagai Rais Syuriyah PC NU Temanggung bersama Pengurus NU Temanggung, serta Barisan Muslimin Temanggung Parakan, mengadakan mujahadah; siang berpuasa mutih, malam tahajud, wirid, membaca Hizib Nasri, Hizib Bahri, Shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali dan Shalawat Munjiyat seribu kali. Setelah mujahadah 10 hari mereka dilatih kemiliteran oleh Laskar Hizbullah.




Dalam revolusi fisik yang berkecamuk 1945-1950, ia bersama K.H. H.M. Siradj Payaman, K.H. M. Dalhar Watucongol, serta K.H. Mandur Temanggung, dan tentara rakyat berhasil mengusir NICA dan Sekutu dari Magelang sampai ke Ambarawa. Dari Ambarawa, bersama Jenderal Sudirman dan tentara rakyat, berhasil juga mengusir Belanda.

Kiai Subkhi wafat pada hari Kamis Legi, 6 April 1959, dalam usia 101 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Sekuncen, Desa Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

(Sumber: Ensiklopedia NU /Gus Nal/Red)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Bagikan :

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *