Evoria Hajatan Antara, “Antara Rasa Gembira Dan Susah” Bagi Masyarakat

0 0
Read Time:2 Minute, 16 Second

 

WONOGIRI, Wartajavaindo.com – Kultur masyarakat Jawa kususnya yang masih memegang teguh budaya, tentu akan sulit bila mana secara serta-merta akan di hilangkan, walau di gempur oleh perkembangan teknologi dan budaya asing yang teramat dahsyat.

Budaya “ewuh” ( bahasa Jawa-Red) yang artinya sepadan dengan “orang punya hajat” baik itu hajat mantu maupun yang lainya masih terpatri kuat di sanubari maysyarakat Jawa. Seperti juga halnya kepercayaan  ‘Bobot – Bibit – Bebet’ walaupun samar-samar masih tetap di pegang teguh oleh para ‘pinisepuh jawa’ sampai saat ini.

Kepercayaan tentang hari baik, bulan baik , nogo dino dan semua embel embelnya masih berlaku sampai saat ini dikalangan sesepuh jawa. Dan ini tentu akan berpengaruh pada penentuan hari hajatan yang bisa berlangsung berbarengan dalam satu tempat pada satu waktu, hal ini tidak lepas dari pilihan para “pujangga” yang sama dalam mematok saat dan hari baik tersebut.

Dengan adanya “kelonggaran” seperti sekarang ini, yaitu dengan di perbolehkan nya warga masyarakat menggelar hajatan saat ini (sepanjang kita bisa menyikapi keadaan), maka seolah olah masyarakat berlomba menggelar acara hajatan, baik itu hajatan mantu dan sebagainya.

Walaupun kadangkala kita sebagai tetangga,  atau kerabat harus bersusah payah untuk bisa “ngrukuni”, namun tentu saja kita tidak perlu berlebihan  dalam menyikapinya, walupun kadang-kadang juga dalam waktu bersamaan bisa berbarengan lebih dari lima tempat orang yang punya hajatan. Ini sudah menjadi kultur budaya walaupun kadang “tidak” mau mengerti dengan situasi dan kondisi keuangan kita.

 

Kata “Mantu” yang mempunyai arti “sing di eman metu” (istilah bahasa jawa – red) ini adalah contoh candaan yang benar nyata adanya bagi orang tua dalam melaksanakan “darmaning asepuh” (artinya: kewajiban sebagai orang tua terhadap anak kita) yang diharapkan kelak menjadi penerus perjalanan sejarah hidup manusia ini tentu akan membawa konsekwensi yang tidak  murah untuk melaksanakan nya. Orang tua kita rela berkorban harta untuk mewujutkan semuanya demi mempertahankan kultur budaya dan martabat keluarga .

Dari pengamatan penulis, semenjak di longgarkan nya bagi masyarakat dari aturan prokes pandemi, saat ini orang menggelar hajatan ibarat air yang mengucur deras dari atas  langit.  Namun demikian bila dilihat dari sisi lain, hal ini malah membawa nilai positip bagi peradapan kita, dimana yang kemarin – kemarin (dimasa pandemi covid 19 – Red) banyak yang mengkawatirkan akan hilangnya tradisi “Sonjo, Layat, Jagong” di masyarakat kita  kini mulai berangsur pulih kembali.

Dari segi dampak ekonomi,  bisa mendongkrak atau menggeliatnya roda ekonomi masyarakat yaitu dengan adanya perputaran uang yang  beredar di masyarakat.  Dengan banyaknya orang yang menggelar hajatan maka akan berdampak positif juga bagi pengusaha sewa tenda, sound sestem , seniman-seniwati, para juru rias dan masih banyak lagi yang dapat hidup kembali.

Satu hal yang masih perlu di perhatikan, tentu saja kita harus tetap menerapkan protokol kesehatan yang sudah ” kadung” melekat di kehidupan sehari hari agar tetap sehat dan bisa “jagong”.( Try) Editor Raja.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Bagikan :

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *