TEMANGGUNG, wartajavaindo.com
Lembaga Survey Elektabilitas (LSE) Indepeneden Tiara Temanggung baru-baru ini mengadakan acara diskusi tentang Pemilu dengan nara sumber Direktur Utama Martinus Lilik Dwi Wicaksono.
Menjelang Pemilu LSE Tiara akan mengagendakan secara rutin secara informal bincang-bincang dengan tema kepemiluan, dihadiri para penggiat pemilu.
Acara bincang santai diadakan di salah satu café di Temanggung, Martin demikian sapan akrabnya, menyatakan gagasan perlu segera dilakukan pembentukan lembaga dalam rangka penyelesaian sengketa pemilu yakni dengan menggagas tentang Pembentukan Pengadilan Pemilu di Indonesia.
Martin menyampaikan bahwa problematika hukum pemilu yang terus berulang terjadi sejak tahun 1999 merupakan sengketa pemilu dengan aneka substansi masalah dan belum adanya mekanisme penyelesaian yang kuat dan terlembaga.
Beberapa permasalahan yang selalu timbul dalam pemilu yang meskipun telah ditangani oleh lembaga Negara yang berbeda-beda sesuai jenis pelanggarannya.
Antara lain :
1). DKPP untuk pelanggaran etika,
2). KPU untuk pelanggaran administrasi,
3). Badan Pengawas Pemilu untuk sengketa antar peserta pemilihan dan penyelenggara, 4). Polisi untuk tindak pidana pemilu,
5). TUN dan PTUN untuk perselisihan hasil pemilihan antara KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota oleh KPU.
Disisi lain , sengketa pemilu juga terjadi dalam bentuk konflik kewenangan antar lembaga Negara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili sengketa Pilkada.
Jika melihat pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa Pilkada merupakan kewenangan MA. Namun, jika melihat pada ketentuan Putusan MK No. 027-73/PUU-II/2004 pada tanggal 22 Maret 2005 lalu, yang berwenang mengadili sengketa Pilkada adalah MK.
Martin memaparkan :
“Beranjak dari timbulnya tumpang tindih kewenangan tersebut, maka terbitlah UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 157 ayat 1 – 3 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa Sengketa penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan dia diadi oleh MK sampai dibentuknya lembaga peradilan khusus”.
Adapun bentuk kelembagaannya cukup bersifat delegatie provision yang berarti tidak harus dibentuk melalui undang-undang tersendiri, tetapi dapat disiapkan pada pengaturan mengenai pengadilan khusus pemilu dalam UU Pemilu.
Dengan wewenang satu atap sehingga dapat menangani segala sengketa yang timbul dalam proses pemilu, mulai dari sengketa administrasi, tindak pidana pemilu, hingga perselisihan hasil pemilu.
Martin menamnahkan alassn utamanaya adalah :
Pertama, agar tidak terjadinya kekosongan lembaga peradilan khusus yang dikhawatirkan akan mencederai Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara dan integritas pemilu serta martabat demokrasi itu sendiri.
Kedua, agar pengadilan pemilu memiliki kekuatan hukum optimal.
Erwin menyarankan ketentuan terkait peradilan khusus pemilu ini dapat diatur dalam konstitusi dan menjadi sebuah Mahkamah Pemilu.
David
Editor Raja