Misteri Hilangnya 25 Nama Guru Injil Asal Maluku Yang Mengabdi Di Sorong Tahun 1948

4 0
Read Time:5 Minute, 7 Second

Oleh : Joris Stef Omkarsba

PAPUA, WARTA JAVAINDO –

Tujuh puluh enam tahun lalu, sebanyak 41 orang dari Maluku dikirim dengan kapal BOOTH ke Manoi Sorong, rata-rata mereka berusia masih remaja, tetapi sudah diberikan sebuah tanggung jawab yang sangat besar sebagai Penginjil.

Dorang mengemban Amanat Agung, memberitakan Injil ke Tanah Papua untuk “Menyibak tabir Kegelapan” dan “Membawa Terang “ kepada Orang Asli Papua di Kepulauan Raja Ampat, Tanah Moi, Inanwatan, Tehit, dan Maybrat, pada 11 Desember 1948.

“ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang kuperintahkan kepada mu. Matius 28 : 19 – 20 “

Para pria pemberani dari Maluku ini rela kehilangan kenangan indah semasa remaja , tak ada memori tentang cerita lucu ketika bercanda dan tertawa dengan teman sebayanya, tak ada kisah remaja yang nanti ditulis dalam buku catatan hariannya untuk dikisahkan kepada anak cucunya ketika usia senja menjemput.

Mereka berlayar meninggalkan orang tua dan sanak saudaranya di kampung halaman, dan memilih hidup sendiri penuh tantangan, mengabdi dalam keadaan terbatas, di tengah-tengah bangsa berkulit hitam rambut keriting, di Timur Lautan Teduh New Guinea, sebuah negeri yang masih hidup dalam kegelapan, perang suku, pengayauan dan pembunuhan, sebuah kisah heroik sejati.

Memang, bukan mereka yang pertama kali melakukan penginjilan di Tanah Papua, sudah ada Rasul Papua yakni Ottow dan Geissler yang membawa injil pertama kali tahun 1855 di Mansinam. Secara khusus J.L. Van Hasselt Ketua Zending pertama tahun 1863 – 1894, yang merintis persekolahan Kristen, dilanjutkan anaknya F.J.F Van Hasselt pada 1894 – 1931, hingga I.S.Kijne 1923 – 1958.

Akibat Perang Dunia II tahun 1945, seluruh fasilitas persekolahan dan gereja rusak karena di bombardier Jepang, sehingga perlu dilakukan renovasi besar-besaran penataan kembali pekerjaan penginjilan di seluruh Tanah Papua, Kijne ditangkap dan diasingkan di penjara Balige Sumatera Utara.

Pusat pendidikan guru – guru Injil Orang Asli Papua di Miei tidak berjalan, bukan hanya itu, tetapi PD II juga berdampak terhadap perjalanan para Zendeling, pekerjaan penginjilan berjalan lamban..

Keluar dari Balige 1945, Domine I.S. Kijne dipanggil Ratu Yuliana ke Negeri Belanda pada Tahun 1947, untuk melakukan penataan kembali seluruh pekerjaan Zending di Tanah Papua. Persekolahan di Miei ditutup, dan membuka Joka Institute di Sentani pada Mei 1949.

Ditengah trauma kerusakan akibat Perang Dunia II dan upaya pembangunan kembali pekerjaan penginjilan dan persekolahan Kristen di Tanah Papua sejak 1942 – 1949, Zendeling Belanda mempersiapkan remaja-remaja di Maluku untuk melakukan penginjilan di kepala burung Papua, pada tahun 1948.

Sebanyak empat puluh satu orang remaja, dididik di pulau Seram menjadi guru injil, dan diberangkatkan dengan kapal BOOTH pada tanggal 17 November 1948 dari Ambon, dan tiba di Manoi ( Usaha Mina ) Sorong, pada tanggal 18 November 1948.

Dalam catatan tulisan tangan Grj. Semuel Risamasu tentang riwayat hidup Grj. Zakarias Tipawael pada ibadah pelepasan tahun 1998 di Sorong, di dalam kapal BOOTH, terdapat beberapa nama guru injil yang memiliki nama besar di Sorong Raya, diantaranya Grj.O.Mainake, Grj.M.G.L.Hallatu, Grj.Amarumolo, Grj.Hetharia, Grj.E.Lenahatu, dan Grj.J.Solissa.

Tiba di Manoi, mereka di jemput Grj.Tutuarima dan pendeta Midaag, kemudian dibawa untuk ditampung di pulau Doom selama tiga hari, kemudian ditempatkan di tempat-tempat tugas masing-masing , di kepulauan Raja Ampat, Tanah Tehit Teminabuan, Maybrat dan Inanwatan.

11 Desember 1948, sepuluh orang guru injil dibawa dengan kapal SUDU dari Doom ke Inanwatan, kemudian disebarkan ke Maybrat dan Teminabuan, mereka adalah : Grj.Semuel Risamasu, Grj.Zakarias Tipawael, Grj.Solissa, O. Matoke, A.Makatita, A. Waeloruno, Wattimena, Telussa, A.Kakiay, dan F.Laturiuw.

Dari cerita orang tua, Grj.M.G.L, Hallatu ditempatkan di kampung Jensawai, Batanta Utara, Raja Ampat, dan membuka sekolah disana, kemudian bertugas terakhir di kampung Jeflio kabupaten Sorong.

Grj. Semuel Risamasu bertugas di kampung Kasueri Inanwatan pada tahun 1948, kemudian pindah ke kampung Aitinyo pada tahun 1955, kampung Karetubun Yukase 1960, kampung Kambuaya Ayamaru tahun 1964, kampung Manelek Teminabuan tahun 1966 diangkat jadi PSW YPK, pindah ke Sorong 1968 menjadi Penilik Sekolah Dasar.

Sedangkan Grj.Zakarias Tipawael bertugas di kampung Inanwatan 1 Desember 1948, kampung Erok Wero Inanwatan tahun 1951, kampung Jitmau Maybrat tahun 1958, Teminabuan 1963, kampung Wersar tahun 1964, pindah ke Sorong, bertugas di SD YPK V Remu 1971 dan SD YPK II Kampung Baru Sorong 1986.

Sementara, Grj. O.Mainake, Grj.Amarumolo, Grj.Hetharia, Grj.E.Lenahatu, dan Grj.J.Solissa, tidak disebutkan ditugaskan di tempat mana.

Dari 41 nama guru injil yang berangkat dengan kapal Booth dari Ambon, 17 November 1948, hanya 16 nama penginjil yang tertulis dalam catatan singkat riwayat hidup Grj. Zakarias Tipawael yang ditulis Grj.Semuel Risamasu, sedangkan 25 nama penginjil lainnya tidak terekam dalam catatan tersebut.

Dua puluh lima nama penginjil yang tidak terekam dalam catatan riwayat hidup, termasuk anak cucu mereka, seakan hilang tertelan bumi, dengan sejuta kisah petualangan penginjilan, yang hingga kini masih menjadi sebuah misteri.

Banyak nama-nama penginjil dari Maluku yang berada di Raja Ampat, Teminabuan, kota Sorong, Inanwatan, dan Maybrat, tetapi belum diketahui apakah mereka adalah 41 penumpang kapal BOOTH dari Ambon, 17 November 1948 ?

Ada Grj. Kaihatu di Yenbeser Raja Ampat; Grj. Latunusa di Rufei; Marlisa, Loupatti, Aipasa dan Parinussa di Inanwatan, Maipao dan Kukurule di Teminabuan, serta masih banyak lagi.

Setelah tulisan ini terbit, ada informasi tambahan dari Eky, anak penginjil Grj. Zakariaz Tipawael, dari 25 nama yang masih misteri, terkuak dua nama penginjil yang dibunuh di Enarotali Paniai, yakni Penginjil Paksoal dan Lesnusa, sementara Grj. Mailopu, Tetelepta, Watiheluw bertugas hingga meninggal dalam usia tua di Nabire, sedangkan Gri. Epa Tipawael dan Hetaria mengabdi di Serui.

Dari tujuh nama diatas, berarti tersisa 18 nama lagi yang belum diketahui keberadaannya, menurut informasi lisan dari anak-anak penginjil, para guru Injil ini disebarkan di bagian utara Tanah Papua hingga Papua New Guinea, sehingga komunikasi diantara mereka terputus.

Mereka rela mengorbankan seluruh hidupnya untuk membawa kemajuan bagi Tanah Papua. Jika cerita tentang kisah pengorbanannya dilupakan, biarlah hanya nama yang tercantum dalam lembaran buku sejarah agar nama mereka dapat dibaca oleh anak cucu mereka di perpustakaan, sebagai ungkapan terima kasih Orang Asli Papua kepada mereka.

 

_Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024_

 

(Penulis adalah anggota Persekutuan Anak Cucu Penginjil di Papua Barat Daya)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Bagikan :

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *