JEPARA – WARTA JAVAINDO.COM
Kejaksaan Negeri (Kejari) Jepara untuk pertama kali melaksanakan penyelesaian perkara berdasarkan Restorative Justice (Keadilan Restoratif).
Hal tersebut diungkapkan Kepala Kejaksaan Negeri Jepara Ayu Agung saat ditemui di kantornya, Jumat, (19/11/2021).
Ayu Agung mengatakan, keadilan restoratif merupakan penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan keluarga korban, serta pihak lain. Kemudian mereka bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan bukan pembalasan.
Menurutnya, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat.
Ini mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Perja diundangkan tanggal 22 Juli 2021. Dengan adanya peraturan itu, diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (tipiring) tanpa ke meja hijau.
“Restorative Justice mulai baru kita terapkan di Jepara. Dasarnya yaitu Perja No. 15 Tahun 2021”,kata Ayu Agung.
Seperti kasus penganiayaan yang dialami tersangka wanita berinisial N Warga Desa Wedelan, Kecamatan Bangsri terhadap korban wanita berinisial S asal Bangsri.
Setelah adanya upaya perdamaian antara keduanya, yang difasilitasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Jepara berdasarkan prinsip restorative justice, sehingga perkara penganiayaan tersebut tidak perlu dibawa sampai ke tingkat persidangan.
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap tersangka diserahkan Kepala Kejari Jepara Ayu Agung di Aula Kejari Jepara (18/11/2021).
Kejari mengupayakan restorative justice karena berbagai pertimbangan. Diantaranya karena kedua belah pihak antara pelapor S dan terlapor N sepakat berdamai. Selain itu, hal yang menjadi pertimbangan lain adalah pelaku belum pernah melakukan kejahatan.
“Kami telah memfasilitasi keduanya berdamai. Mereka telah sepakat berdamai, sehingga keadaan bisa kembali seperti semula,” terangnya.
Lanjut Ayu Agung, permohonan perdamaian tersebut telah disetujui oleh pimpinan Jampidum melalui ekspose, Senin (15/11) lalu.
Sementara, restorative justice sesuai dengan peraturan jaksa (Perja) nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan karena telah memenuhi tiga persyaratan. Yaitu tersangka pertama kali melakukan tindak pidana, tuntutan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan nilai kerugiannya tidak lebih dari Rp2,5 juta.
Sementara itu, untuk perkara antara N dan S selesai didamaikan, Kejari Jepara bersurat ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah. Kemudian dilakukan ekspose perkara di Jampidum. Upaya perdamaian itu pun disetujui oleh Kejati dan Jampidum.
Akhirnya, Kepala Kejari Jepara menerbitkan SKPP, Selasa (16/11).
Ayu berharap perkara-perkara ringan dan memenuhi persyaratan bisa diupayakan untuk diterapkan restorative justice.
Lanjut Ayu Agung, setiap permasalahan menjadi pelajaran kita semua. Apabila memang terjadi, Kejari Jepara siap memfasilitasi dan diajak mediasi. Agar tidak sampai ke meja persidangan.
“Selayaknya memang perkara tertentu tidak perlu sampai ke meja hijau atau ke penjara. Karena penjara sendiri saat ini sudah over kapasitas. Semestinya ada pidana lain yang lebih pantas untuk dilakukan pemidanaan dan tidak dipenjara”,ujarnya.
Ayu Agung menambahkan, kami akan menjawab keresahan masyarakat tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.
Dalam menjalankan kewenangan hukum, tidak boleh terjebak di terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata. Sehingga mengabaikan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri.
“Perlu diingat, bahwa apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum, ” katanya
Pewarta E John, Editor Radja